Minggu, 18 Agustus 2013

Manusia,bukan cuma "MAMA"

Dua malam sebelum jadwal siaran rutinnya setiap Selasa pagi di Cosmopolitan FM, Reza mendiskusikan topik siarannya dengan saya. Dia ingin membahas dinamika relasi anak yang sudah dewasa dengan orangtuanya. Saya langsung setuju. Jatuh-bangun dan pahit-manis dinamika tersebut adalah masalah universal yang harus dihadapi oleh semua orang. Cepat atau lambat. Suka tak suka.Kami lantas berdiskusi tentang banyak aspek, antara lain: pengondisian orangtua kita dulu yang akhirnya membentuk perilaku dan pola asuh mereka terhadap kita, hingga seringkali yang mereka terapkan bukanlah yang terbaik bagi anak melainkan sekadar meneruskan warisan dari orangtua mereka sebelumnya. Dan hal itu berlangsung dari generasi ke generasi, termasuk pada kita saat kebagian giliran jadi orangtua. Belum lagi kalau ternyata pola-pola tersebut meninggalkan trauma. Dalam pekerjaannya, Reza tak jarang menemukan belitan trauma akibat pola asuh masa kecil yang bisa mencengkeram seseorang meski umurnya sudah uzur.Aspek lainnya lagi yang kami bahas adalah kejujuran yang utuh dan lengkap dalam komunikasi antara anak dan orangtua. Seringkali, karena takut dibilang durhaka, tekanan normatif, dsb, kita memilih untuk tidak terbuka seratus persen pada orangtua kita. Akibatnya, anak tetap tidak bisa menunjukkan otentisitasnya sebagai individu, dan orangtua pun terus ‘terperangkap’ dalam ilusi bahwa anaknya, mau berapa pun usianya sekarang, tetaplah Si Upik dan Si Buyung yang harus terus menerus diawasi dan dikendalikan.Namun baru pada pagi inilah, saat saya mendengarkan siaran Reza secara langsung, mendarat hantaman yang juga langsung di batin saya. Pada segmen-segmen akhir, Reza berbicara mengenai transisi yang seringkali tak lancar—bahkan mungkin tak pernah terjadi—dalam perubahan peran “anak” dan peran “orangtua” menuju individu-individu yang real, sejajar, dan apa adanya. Kita jarang atau bahkan tak pernah mengenal orangtua kita sebagai manusia—titik—dan bukannya Sang Pemberi Kehidupan, Sang Pemberi Makan, Sang Pengayom, Sang Pelindung, atau Sang Pengasuh. Sebaliknya, orangtua kita pun jarang bahkan mungkin tak pernah mengenal anak-anaknya sebagai manusia—saja—dan bukannya Si Buah Hati, Si Penerus Keturunan, Si Harapan Bangsa & Keluarga, dst. Semua “Sang” dan “Si” tadi memang terdengar luhur dan mulia, tapi juga membius dan melenakan jika kita terus terjebak di dalamnya.Izinkan saya berbagi sekelumit kisah pribadi. Tentang saya dan perempuan dalam foto di atas... Mama.Dengan kondisi ayah saya yang seorang perwira militer dan mengharuskannya untuk pindah-pindah tempat dinas, otomatis ibu sayalah yang lebih banyak di rumah untuk mengurusi anak-anak. Saya bertemu ayah saya hanya setiap akhir pekan. Dan dalam dua-tiga hari itu, ayah saya lebih sering menjelma menjadi Sinterklas yang selalu membawakan oleh-oleh, uang saku ekstra, dan kesenangan lainnya.Sementara itu, dalam dinamika harian dari Senin hingga Jumat, Mama harus berperan ganda menjadi ibu sekaligus ayah bagi kami. Mama memasak dan mengatur rumah, juga menjadi “polisi” dan penegak kedisiplinan, ditambah lagi dengan aktivitasnya yang padat di gereja sebagai penatua, anggota kor, dan ibu asuh tak resmi bagi banyak pemuda perantauan Tanah Batak yang terdampar di Kota Bandung. Begitu banyak peran yang ia jalankan dan semuanya ia jalani dengan sangat baik. Mama adalah sosok yang luar biasa bagi lingkungannya. Dan sosok yang kompleks bagi saya.Mama meninggal karena kanker di ususnya pada tahun 1995. Saya masih 19 tahun saat itu. Baru kuliah tingkat dua, baru memulai karier bernyanyi. Baru saja berbangga karena bisa membiayai kuliah sendiri dan berhenti minta uang saku. Baru saja menyaksikan ibu saya berbangga melihat anaknya muncul di televisi. Dan baru saja pula saya berkhayal ingin menghadiahinya wisata ziarah ke tempat-tempat suci di Timur Tengah, sebagaimana yang selalu diimpikannya sebagai umat Kristiani.Saat orang-orang datang melayat, dan juga jauh sesudah itu, kerap saya mendengar berbagai kesan dan cerita orang-orang terhadap Mama. Mereka yang saya kenal, dan juga seringnya tak saya kenal, bercerita banyak hal yang asing di kuping saya tentang Mama. Tak jarang saya takjub bahkan terguncang, menyadari betapa saya tidak mengenal ibu saya sendiri. Dan sebaliknya. Saya merasa Mama pun tidak sempat mengenal saya. Anaknya sendiri.“Saya ini anak yang besar di luar rumah,” begitu saya selalu berkata. Dan kurang lebih memang benar adanya. Sebagai anak yang dikenal paling cuek di antara lima bersaudara, justru sayalah yang ternyata paling kuat terkena dampak meninggalnya Mama. Saya memimpikannya setiap malam selama berbulan-bulan, dan untuk sekian lama saya tidak bisa membicarakan bahkan memikirkan Mama lebih dari tiga menit tanpa menitikkan air mata. Padahal, saat beliau masih hidup, sayalah yang paling berjarak dengannya.Selama bertahun-tahun, banyak jawaban dan alasan yang sudah saya renungi. Namun khususnya setelah mendengarkan siaran Reza pagi ini, renungan itu menggenap. Kehilangan saya yang paling kuat bukan disebabkan karena saya belum sempat menghadiahinya wisata melihat Betlehem, bukan karena Mama tidak sempat melihat saya memberinya cucu, bukan karena banyaknya peristiwa penting dan bersejarah dalam hidup saya yang membutuhkan kehadirannya, tapi semata-mata karena saya belum mengenalnya sebagai manusia—titik. Dan yang paling menyakitkan adalah, setiap saya ingin mengenang beliau, saya selalu berbenturan dengan tembok tebal yang diciptakan aneka peran yang Mama mainkan selama hidupnya. Ditambah lagi dengan tameng dari peran saya sendiri sebagai anaknya.Selama ia hidup, saya hanya mengenalnya sebagai ibu. Mama. Inang Mangunsong. Saya tidak kenal perempuan bernama Tiurlan Siagian. Dan sebaliknya, saya pun merindu dan meradang untuk ia kenali sebagai manusia—saja. Bukan semata anak keempatnya yang hobi menulis dan menyanyi. Dalam sembilan belas tahun kami berinteraksi, kami belum sempat menanggalkan peran-peran kami sebagai ibu dan anak, berjabat tangan atau berpelukan atau sekadar menatap satu sama lain sebagai dua individu yang otentik, yang sejajar, yang real. Ia pergi sebelum kami sempat bertransisi.Ayah saya kini berusia 71 tahun. Barangkali tak selamanya ia merasa beruntung hidup lebih lama, karena dengan demikian ia “terpaksa” menyaksikan segala tingkah-polah kelima anaknya yang bertransisi menjadi manusia dewasa, lengkap dengan segala konflik dan pertentangan batin yang turut menyertai proses tersebut. Namun, walaupun mungkin tidak terus-terusan, setidaknya saya sempat merasakan interaksi kami berdua bertransisi dari ayah dan anak menjadi manusia dan manusia.Pagi ini, saya memberanikan diri untuk berkata: sesungguhnya, itulah hadiah terbaik yang bisa kita berikan pada orangtua kita. Itu jugalah hadiah terbaik yang kelak bisa kita berikan bagi anak kita. Dan hanya itulah persembahan terbaik yang bisa kita tawarkan bagi sesama manusia di sekeliling kita. Meski secercah, meski tak selamanya berakibat indah, otentisitas dan kejujuran kita sebagai manusia adalah satu-satunya jabat tangan yang riil antarhati. Antarjiwa. Hanya dengan demikian kita benar-benar tahu rasanya “terhubung”. Dan sungguh, itu adalah pengalaman yang nyaris punah.Selama kita bersembunyi dan terperangkap dalam peran-peran yang kita jalankan, selama itu pulalah interaksi yang terjadi hanya sebatas tameng. Sebatas pengondisian. Kita bahkan bisa berjalan sepanjang hayat dikandung badan di atas planet ini tanpa pernah menyadari topeng-topeng yang kita kenakan, yang meski dalam interaksinya kita bisa saja merasakan cinta, kedamaian, keindahan, dan hal-hal positif lainnya. Namun ada sesuatu yang lebih dari itu semua.Kesempatan itu sudah tidak ada lagi bagi Mama dan saya, setidaknya dalam kehidupan kali ini. Tapi kesempatan itu masih ada untuk saya gunakan dengan ayah saya, anak saya, suami saya, kakak-adik saya, dan semua orang dalam kehidupan saya. Begitu juga dengan Anda dan siapa pun yang masih ada dalam kehidupan Anda sekarang. Semoga saja kita mau dan berani menggunakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar