Dua malam sebelum jadwal siaran rutinnya setiap Selasa pagi di
Cosmopolitan FM, Reza mendiskusikan topik siarannya dengan saya. Dia
ingin membahas dinamika relasi anak yang sudah dewasa dengan
orangtuanya. Saya langsung setuju. Jatuh-bangun dan pahit-manis dinamika
tersebut adalah masalah universal yang harus dihadapi oleh semua orang.
Cepat atau lambat. Suka tak suka.Kami lantas berdiskusi tentang banyak
aspek, antara lain: pengondisian orangtua kita dulu yang akhirnya
membentuk perilaku dan pola asuh mereka terhadap kita, hingga seringkali
yang mereka terapkan bukanlah yang terbaik bagi anak melainkan sekadar
meneruskan warisan dari orangtua mereka sebelumnya. Dan hal itu
berlangsung dari generasi ke generasi, termasuk pada kita saat kebagian
giliran jadi orangtua. Belum lagi kalau ternyata pola-pola tersebut
meninggalkan trauma. Dalam pekerjaannya, Reza tak jarang menemukan
belitan trauma akibat pola asuh masa kecil yang bisa mencengkeram
seseorang meski umurnya sudah uzur.Aspek lainnya lagi yang kami bahas
adalah kejujuran yang utuh dan lengkap dalam komunikasi antara anak dan
orangtua. Seringkali, karena takut dibilang durhaka, tekanan normatif,
dsb, kita memilih untuk tidak terbuka seratus persen pada orangtua kita.
Akibatnya, anak tetap tidak bisa menunjukkan otentisitasnya sebagai
individu, dan orangtua pun terus ‘terperangkap’ dalam ilusi bahwa
anaknya, mau berapa pun usianya sekarang, tetaplah Si Upik dan Si Buyung
yang harus terus menerus diawasi dan dikendalikan.Namun baru pada pagi
inilah, saat saya mendengarkan siaran Reza secara langsung, mendarat
hantaman yang juga langsung di batin saya. Pada segmen-segmen akhir,
Reza berbicara mengenai transisi yang seringkali tak lancar—bahkan
mungkin tak pernah terjadi—dalam perubahan peran “anak” dan peran
“orangtua” menuju individu-individu yang real, sejajar, dan apa adanya.
Kita jarang atau bahkan tak pernah mengenal orangtua kita sebagai
manusia—titik—dan bukannya Sang Pemberi Kehidupan, Sang Pemberi Makan,
Sang Pengayom, Sang Pelindung, atau Sang Pengasuh. Sebaliknya, orangtua
kita pun jarang bahkan mungkin tak pernah mengenal anak-anaknya sebagai
manusia—saja—dan bukannya Si Buah Hati, Si Penerus Keturunan, Si Harapan
Bangsa & Keluarga, dst. Semua “Sang” dan “Si” tadi memang terdengar
luhur dan mulia, tapi juga membius dan melenakan jika kita terus
terjebak di dalamnya.Izinkan saya berbagi sekelumit kisah pribadi.
Tentang saya dan perempuan dalam foto di atas... Mama.Dengan kondisi
ayah saya yang seorang perwira militer dan mengharuskannya untuk
pindah-pindah tempat dinas, otomatis ibu sayalah yang lebih banyak di
rumah untuk mengurusi anak-anak. Saya bertemu ayah saya hanya setiap
akhir pekan. Dan dalam dua-tiga hari itu, ayah saya lebih sering
menjelma menjadi Sinterklas yang selalu membawakan oleh-oleh, uang saku
ekstra, dan kesenangan lainnya.Sementara itu, dalam dinamika harian dari
Senin hingga Jumat, Mama harus berperan ganda menjadi ibu sekaligus
ayah bagi kami. Mama memasak dan mengatur rumah, juga menjadi “polisi”
dan penegak kedisiplinan, ditambah lagi dengan aktivitasnya yang padat
di gereja sebagai penatua, anggota kor, dan ibu asuh tak resmi bagi
banyak pemuda perantauan Tanah Batak yang terdampar di Kota Bandung.
Begitu banyak peran yang ia jalankan dan semuanya ia jalani dengan
sangat baik. Mama adalah sosok yang luar biasa bagi lingkungannya. Dan
sosok yang kompleks bagi saya.Mama meninggal karena kanker di ususnya
pada tahun 1995. Saya masih 19 tahun saat itu. Baru kuliah tingkat dua,
baru memulai karier bernyanyi. Baru saja berbangga karena bisa membiayai
kuliah sendiri dan berhenti minta uang saku. Baru saja menyaksikan ibu
saya berbangga melihat anaknya muncul di televisi. Dan baru saja pula
saya berkhayal ingin menghadiahinya wisata ziarah ke tempat-tempat suci
di Timur Tengah, sebagaimana yang selalu diimpikannya sebagai umat
Kristiani.Saat orang-orang datang melayat, dan juga jauh sesudah itu,
kerap saya mendengar berbagai kesan dan cerita orang-orang terhadap
Mama. Mereka yang saya kenal, dan juga seringnya tak saya kenal,
bercerita banyak hal yang asing di kuping saya tentang Mama. Tak jarang
saya takjub bahkan terguncang, menyadari betapa saya tidak mengenal ibu
saya sendiri. Dan sebaliknya. Saya merasa Mama pun tidak sempat mengenal
saya. Anaknya sendiri.“Saya ini anak yang besar di luar rumah,” begitu
saya selalu berkata. Dan kurang lebih memang benar adanya. Sebagai anak
yang dikenal paling cuek di antara lima bersaudara, justru sayalah yang
ternyata paling kuat terkena dampak meninggalnya Mama. Saya
memimpikannya setiap malam selama berbulan-bulan, dan untuk sekian lama
saya tidak bisa membicarakan bahkan memikirkan Mama lebih dari tiga
menit tanpa menitikkan air mata. Padahal, saat beliau masih hidup,
sayalah yang paling berjarak dengannya.Selama bertahun-tahun, banyak
jawaban dan alasan yang sudah saya renungi. Namun khususnya setelah
mendengarkan siaran Reza pagi ini, renungan itu menggenap. Kehilangan
saya yang paling kuat bukan disebabkan karena saya belum sempat
menghadiahinya wisata melihat Betlehem, bukan karena Mama tidak sempat
melihat saya memberinya cucu, bukan karena banyaknya peristiwa penting
dan bersejarah dalam hidup saya yang membutuhkan kehadirannya, tapi
semata-mata karena saya belum mengenalnya sebagai manusia—titik. Dan
yang paling menyakitkan adalah, setiap saya ingin mengenang beliau, saya
selalu berbenturan dengan tembok tebal yang diciptakan aneka peran yang
Mama mainkan selama hidupnya. Ditambah lagi dengan tameng dari peran
saya sendiri sebagai anaknya.Selama ia hidup, saya hanya mengenalnya
sebagai ibu. Mama. Inang Mangunsong. Saya tidak kenal perempuan bernama
Tiurlan Siagian. Dan sebaliknya, saya pun merindu dan meradang untuk ia
kenali sebagai manusia—saja. Bukan semata anak keempatnya yang hobi
menulis dan menyanyi. Dalam sembilan belas tahun kami berinteraksi, kami
belum sempat menanggalkan peran-peran kami sebagai ibu dan anak,
berjabat tangan atau berpelukan atau sekadar menatap satu sama lain
sebagai dua individu yang otentik, yang sejajar, yang real. Ia pergi
sebelum kami sempat bertransisi.Ayah saya kini berusia 71 tahun.
Barangkali tak selamanya ia merasa beruntung hidup lebih lama, karena
dengan demikian ia “terpaksa” menyaksikan segala tingkah-polah kelima
anaknya yang bertransisi menjadi manusia dewasa, lengkap dengan segala
konflik dan pertentangan batin yang turut menyertai proses tersebut.
Namun, walaupun mungkin tidak terus-terusan, setidaknya saya sempat
merasakan interaksi kami berdua bertransisi dari ayah dan anak menjadi
manusia dan manusia.Pagi ini, saya memberanikan diri untuk berkata:
sesungguhnya, itulah hadiah terbaik yang bisa kita berikan pada orangtua
kita. Itu jugalah hadiah terbaik yang kelak bisa kita berikan bagi anak
kita. Dan hanya itulah persembahan terbaik yang bisa kita tawarkan bagi
sesama manusia di sekeliling kita. Meski secercah, meski tak selamanya
berakibat indah, otentisitas dan kejujuran kita sebagai manusia adalah
satu-satunya jabat tangan yang riil antarhati. Antarjiwa. Hanya dengan
demikian kita benar-benar tahu rasanya “terhubung”. Dan sungguh, itu
adalah pengalaman yang nyaris punah.Selama kita bersembunyi dan
terperangkap dalam peran-peran yang kita jalankan, selama itu pulalah
interaksi yang terjadi hanya sebatas tameng. Sebatas pengondisian. Kita
bahkan bisa berjalan sepanjang hayat dikandung badan di atas planet ini
tanpa pernah menyadari topeng-topeng yang kita kenakan, yang meski dalam
interaksinya kita bisa saja merasakan cinta, kedamaian, keindahan, dan
hal-hal positif lainnya. Namun ada sesuatu yang lebih dari itu
semua.Kesempatan itu sudah tidak ada lagi bagi Mama dan saya, setidaknya
dalam kehidupan kali ini. Tapi kesempatan itu masih ada untuk saya
gunakan dengan ayah saya, anak saya, suami saya, kakak-adik saya, dan
semua orang dalam kehidupan saya. Begitu juga dengan Anda dan siapa pun
yang masih ada dalam kehidupan Anda sekarang. Semoga saja kita mau dan
berani menggunakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar