Sabtu pagi. Akhir pekan. Keramaian manusia di pusat perbelanjaan.
Sungguh bukan pemandangan baru. Tapi saya baru tahu, mengantre di kasir
supermarket di hari Sabtu pagi bisa menjadi pengalaman yang begitu miris
dan mengiris.Pagi itu saya belanja di Carrefour sendirian. Sambil
menunggu pembelanja sebelum saya yang belanjaannya sampai dua troli,
saya mengamati sesuatu. Lewat pengeras suara, beberapa kali terdengar
imbauan untuk mengurangi sampah plastik, bahwa Bumi sedang mengalami
pemanasan global, dan sudah tersedianya kantong belanja ramah lingkungan
yang bisa dibeli dengan harga terjangkau (ada dua pilihan: dua ribu
perak berbahan plastik daur ulang dan sepuluh ribu perak untuk yang
berbahan polyethylene).Lalu di dekat kasir, tertempel sebuah stiker yang
bunyinya kira-kira begini: petugas kasir diharuskan untuk menawarkan
isi ulang pulsa dan kantong belanja ramah lingkungan pada para pembeli.
Saya memperhatikan kiri-kanan, termasuk pada saat giliran saya membayar
tiba. Memang betul saya ditawari pulsa. Tapi tidak kantong belanja
tadi.Dan, berbarengan dengan pengumuman yang bergaung di seantero toko
mengenai pemanasan global, saya mengamati bagaimana belanjaan demi
belanjaan dimasukkan ke kantong-kantong kresek oleh tangan-tangan gesit
yang sudah bergerak terampil bagai robot. Tak sampai penuh, bahkan
kadang setengah pun tidak, mereka mengambili kantong plastik baru. Yang
belanja pun tenang-tenang saja menyaksikan. Kenapa tidak? Berapa pun
kantong plastik yang dipakai, itu sepenuhnya terserah pihak supermarket.
Gratisan pula.Sambil mengamati gerakan tangan gesit petugas, dalam hati
saya bertanya: haruskah seboros itu? Barangkali memang kebijakan dari
toko yang mengharuskan berbagai jenis barang untuk tidak digabung dalam
satu kantong. Tapi kenyataannya, kantong-kantong plastik setengah penuh
itu hanya berfungsi sebagai alat angkut dari kasir menuju troli, lalu
dari troli menuju bagasi mobil, lalu dari mobil menuju rumah. Kalaupun
beberapa barang beda kategori tersebut harus digabung, asal tidak
terkocok-kocok di mesin pengaduk semen,seriously, what harm can possibly
be done with those stuffs?Saat saya harus maju, memang saya terlihat
lebih repot dari yang lain. Saya mengeluarkan tiga kantong yang saya
bawa dari rumah, lalu mengisinya sendiri. Bukan apa-apa. Kadang-kadang
akibat pelatihan yang mengharuskan para petugas supermarket untuk
memilah-milah barang membuat mereka seringkali tampak canggung dan
melambat ketika harus menggabungkan santan kotak dengan kapas, atau
piring dengan brokoli, atau pasta gigi dengan selai. Sementara bagi saya
itu bukan masalah. Tiga kantong yang saya bawa dari rumah tampak gendut
dan sesak. Beberapa barang besar seperti beras dan deterjen tiga kiloan
saya biarkan di troli tanpa plastik.Melajulah troli saya yang jadinya
tampak aneh di tengah troli-troli lain yang didominasi tumpukan kresek
putih. Rata-rata orang keluar dari sana membawa 4-6 kantong kresek.
Belum termasuk plastik-plastik yang membungkusi buah dan sayur. Jika
semua ini direkam dalam video, lalu satu demi satu gambar dihilangkan
dan dibiarkan gambar plastiknya saja, niscaya kita akan melihat
buntelan-buntelan putih licin yang mengalir bagai sungai dari
supermarket menuju parkiran.Superindo punya kebijakan yang selangkah
lebih mending. Jika belanjaan kita cukup banyak maka petugas di kasir
akan menawarkan pemakaian dus. Dan sudah ada dus-dus yang disediakan
dalam jangkauan, hingga tak perlu tunggu lama untuk cari-cari ke gudang.
Beberapa kali saya mengantre di kasir Superindo, saya menemukan banyak
pembeli yang menolak pakai kardus meski belanjaan mereka banyak. Entah
apa alasannya. Mungkin menurut mereka kurang praktis. Atau tidak
terbiasa. Seperti Carrefour, Superindo juga menjualgreen bag, kantong
belanja yang bisa dipakai berkali-kali. Green bagtersebut pun bisa
didapat dengan gratis. Caranya? Mengumpulkan 70 stiker. Satu stiker
didapat dengan belanja 10 ribu, dan stiker berikutnya di kelipatan 50
ribu. Jadi belanjalah dulu 10 ribu sebanyak 70 kali, atau belanja 3,5
juta untuk mendapatkan tas itu secara cuma-cuma. Wow.Kasir di Ranch
Market selalu bertanya pada pembeli: "Apakah struknya perlu dicetak?"
dan ketika kita menjawab 'tidak' (karena seringnya memang tidak dilihat
lagi juga), maka dia tidak akan mencetakkan struk yang berarti
penghematan kertas. Sedang dilaksanakan pula kegiatan adopsi pohon
dengan biaya 95 ribu, di mana kita akan mendapatkan satu kantong belanja
bahan kain goni yang ukurannya cukup besar dan satu pohon akan ditanam
atas nama kita di Gunung Rinjani. 'Saudara'-nya Ranch Market, yakni
Farmer's Market, secara rutin mengadakan hari "Belanja Tanpa Kantong
Plastik", di mana setiap Selasa minggu ke-2 Farmer's tidak menyediakan
kantong plastik sama sekali. Sama seperti Carrefour dan Superindo,
jaringan ini juga menjual green bag dari bahan kain seharga 10
ribu-an.Memang, dibandingkan beberapa tahun yang lalu, inisiatif dari
pihak supermarket/hipermarket sudah jauh lebih baik dan kreatif. Namun,
apakah tidak bisa kita bergerak lebih cepat, lebih tajam, dan lebih
langsung? Dan, mungkinkah perspektif yang digunakan pun sebetulnya
terbalik? Jika benar-benar ingin mengurangi sampah plastik, kenapa
justru pembeli yang tidak ingin menggunakan kantong kresek malah menjadi
pihak yang harus mengeluarkan biaya ekstra dan tidak mendapat insentif
apa pun? Sementara yang pakai kantong kresek tetap melenggang kangkung
tanpa sanksi apa-apa? Tidakkah ini jadi mengimplikasikan bahwa
gerakan go-green itu 'lebih mahal' dan 'repot', sementara yang
sebaliknya justru 'gratis' dan 'praktis'? Di mata saya, penjualan
kantong-kantong ramah lingkungan tersebut pun, selama masih menggunakan
bahan baku baru dan bukan hasil daur ulang, akhirnya cuma jadi komoditas
biasa. Seperti halnya jualan sabun atau sayur. Sementara yang paling
penting adalah BERHENTI memproduksi barang baru dan menggunakan ulang
apa yang ada. Yang paling penting bukanlah mencetak tulisan "Selamatkan
Bumi" di selembar kain kanvas atau di kain polyethylene lalu
menjudulinya tas ramah lingkungan, melainkan membuat kebijakan yang
benar-benar realistis dan berpihak pada lingkungan.Dari data yang saya
baca, di jaringan Superindo sendiri, penggunaan kantong kresek bisa
mencapai 300.000 lembar per hari. 700 ton sampah plastik diproduksi
hanya oleh Jakarta saja. Dan menurut Kementrian Lingkungan Hidup,
komposisi sampah plastik di kota-kota besar seperti Surabaya dan Bandung
meningkat sejak tahun 2000 dari 50% ke 70%. Kita benar-benar sudah
dicekik plastik.Pikiran saya terus berandai-andai: jika memang
pemerintah tidak berbuat sesuatu untuk menekan produksi dan penggunaan
kantong plastik, dan andai saya adalah pengambil keputusan di rantai
supermarket tadi, maka saya akan menetapkan harga 2000-5000 rupiah untuk
satu kantong kresek, yang barangkali akan lebih efektif untuk 'memaksa'
orang membawa kantong sendiri ketimbang menjual kantong ramah
lingkungan seharga 10 ribu. Dana dari 'sanksi' kantong kresek tersebut
lalu disalurkan untuk kegiatan penghijauan dan aktivitas lingkungan
hidup lainnya. Di sebagian negara di Eropa, ternyata pengenaan biaya
pada kantong belanja telah berhasil menurunkan sampah kantong plastik
hingga 90%.Saya cukup salut dengan keberanian Makro. Barangkali cuma di
Makro berlaku peraturan tegas di mana konsumen harus mengeluarkan uang
2000 rupiah untuk setiap kantong belanja. Setiap pembeli yang pergi ke
sana mau tak mau harus siap mental untuk membawa kantong belanja sendiri
atau berebut dus-dus kosong yang memang disiapkan di sana. Kebijakan
seperti itu dapat dimaklumi karena Makro memang menjual barang-barang
berukuran dan berkuantitas besar, jadi alasannya tidak melulu
lingkungan. Namun bukannya tidak mungkin jaringan supermarket dan
hipermarket lainnya mengikuti jejak Makro dengan mengusung alasan
lingkungan, sebagaimana yang digaungkan lewat pengeras suaranya.Saya
keluar dari aliran sungai plastik tadi menuju mobil. Hati masih miris
dan teriris. Sesekali bertanya, apakah khayalan saya ketinggian? Apakah
realistis jika berharap pihak produsenlah yang berani muncul dengan
kebijakan tegas, sementara para konsumennya sendiri tidak mau belajar
mengedukasi dan melatih dirinya? Namun, sampai kapan kita bertahan di
balik sekat-sekat kaku yang memisahkan pembeli dan penjual, pemerintah
dan masyarakat? Sementara belitan plastik yang mencekik tanah dan air
Indonesia sudah terlihat jelas di depan mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar